"Bulan depan kita pindah rumah.”
Itulah yang
dikatakan oleh ayahku. Setelah ujian akhir sekolah nanti, kami sekeluarga akan
pindah rumah. Yang berarti aku juga harus berpindah sekolah untuk melanjutkan
belajarku di sekolah menengah atas. Begitupun dengan adikku yang masih SD.
Ayahku bekerja
sebagai pelatih olahraga panahan. Bersama dengan teman-temannya, mereka membuat
klub panahan dan membuka pelatihan memanah bagi siapa yang ingin belajar. Dan
alhamdulillah sekarang ayah dapat membeli sebuah rumah dan akhirnya kami bisa
meninggalkan kehidupan di kontrakkan ini yang sudah menemani kehidupanku selama
ini.
1 Juli 2016. Kami
pindah ke daerah Sawangan, Depok. Setelah sebelumnya lama mengontrak rumah di
daerah Cibubur, Jakarta Timur. Rumah baru kami tidak terlalu besar. Rumah satu
lantai yang cukup untuk ayah, ibu, aku dan adik untuk tinggal di dalamnya.
Ternyata ada alasan lain kenapa ayah memilih membeli rumah ini. Halaman yang
luas di belakang rumah akan dijadikan sebagai tempat latihan memanah. Selama ini aku belum diajari memanah oleh ayah.
Kali ini akan aku paksa untuk mewarisi keahlian yang ia miliki padaku.
“Chasanah,
kapan kamu mau nyari sekolah ?” ibu bertanya disela aku sedang membaca sebuah
novel.
“Oia !
Chasanah hampir lupa, bu. Chasanah ikut ibu aja deh,”
“Kamu mau di
SMA mana ?”
“Bebas, bu.
Yang penting bisa sekolah,”
“Di sekolah
ini aja, bu. SMA Negeri 5 Depok. Jaraknya ga terlalu jauh dari rumah kita,”
ayah menyarankan sekolah kepada ibu.
“Memang ada
sekolah di dekat sini ? Ayah tahu dari mana ?”
“Itu dari
tetangga di sini. Dua hari yang lalu ia datang untuk belajar memanah. Katanya
ia sekarang masih sekolah di sekolah yang tadi ayah bilang,” ayah menjelaskan
sambil membaca koran hari ini. Memang ayah baru sekitar dua minggu membuka jasa
latihan memanah. Tapi aku tidak pernah melihat apalagi mengobrol dengan ya
datang. Maka malam ini sudah diputuskan aku akan mendaftar ke sekolah itu. Esok
senin, aku dan ibu pergi ke sana. Dan tidak lupa juga adikku yang akan
mendaftar ke SD di dekat sini.
Akhirnya tahun
pelajaran baru semester ganjil dimulai. Dan secara resmi kini diriku menjadi
salah satu siswi di sekolah ini.
“Assalamu’alaikum,
selamat pagi teman-teman. Perkenalkan nama saya Chasanah. Mulai hari ini saya
akan belajar bersama teman-teman di kelas ini. Salam kenal,” sebuah salam
perkenalan dariku. Disambut dengan tepuk tangan yang ramah di dalam kelas.
Kelas XI MIA 2 tempat belajarku di sini.
“Baik
Chasanah. Silakan kamu duduk di samping Ani,” Bu guru wali kelas
mempersilakanku duduk. Teman sebangkuku kali ini bernama Ani. Dan semenjak saat
ini kami menjadi sahabat.
Aku juga punya
kebiasaan, menulis setiap momen kejadian setiap hari dalam buku harianku. Tidak
lupa juga aku mencatat hari pertama sekolah dan awal mula persahabatanku dengan
Ani. Semua tertulis dalam buku dengan sampul batik berwarna biru ini. Di tulis
menggunakan tinta pulpen berwarna biru, sama seperti sampul buku.
Satu bulan
telah berlalu. Hari ini hari sabtu, biasanya tempat latihan memanah kosong hari
ini. Kesempatan untuk belajar memanah hari ini terbuka lebar. Sebelumnya ayah
telah memberi pelatihan cara dasa untuk memanah. Jadi tidak ada salahnya bila
aku mencoba walau ayah sedang tidak di rumah. Entah kemana ia pergi semenjak
tadi pagi. Segera saja aku mengambil busur dan beberapa anak panah. Saatnya beraksi
!
Lima anak panah
aku tembakkan satu persatu. Menuju sasaran yang berjarak sekitar 10 meter di
depan sana. Aku sangat menikmati ini, suasana sepi membuat dengan mudah
berkonsentrasi untuk mencapai sasaran bagian tengah. Sudah empat anak panah
ditembakkan. Dua diantaranya kena di bagian merah, satu di biru dan satu di
luar target. Belum ada yang mengenai kuning, bagian tengah dari sasaran yang
nilainya paling besar. Segera kutarik anak panah terakhir. Target terkunci,
warna kuning.
“Apa yang kamu
lakukan, Chasanah ?” ayah tiba-tiba datang.
Karena kaget,
fokusku menghilang dan akhirnya anak panah terakhir di luar target.
“Iiihhhh, ayah
mah bikin kaget aja. Padahal tadi bisa kena kuning harusnya,” aku melihat ayah
yang kali ini menyiapkan alat-alat untuk memanah. Banyak sekali alatnya, mau
ada apa ya ?
“Hahaha kamu
masih harus banyak latihan nak,” ayah memegang kepalaku yang tertutupi jilbab
biru dongker. “Oia, nanti ada yang mau latihan. Orangnya banyak hari ini. Jadi
kamu udahan aja ya panahannya. Mending bantu ayah sini.”
Ternyata mau
ada yang latihan hari ini. Padahal aku sedang asyik memanah. Tapi apa boleh
buat, lebih baik aku bantu ayah menyiapkan semuanya.
Semua beres.
Terdengar suara langkah kaki mengarah ke sini. Sepertinya sudah pada datang.
Lebih baik aku ke dalam saja. Setelah pamit kepada ayah, aku pun masuk ke
rumah. Sampai di depan pintu, mataku tertuju kepada seorang laki-laki yang
sepertinya seumuran denganku. Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana ?
Aku pun masuk ke rumah. Tapi pikiranku tidak tenang. Akibatnya aku sering
keluar-masuk rumah hanya untuk melihat laki-laki tadi. Siapa laki-laki itu ya ?
Kemampuan memanahnya luar biasa. Dari lima anak panah, semuanya kena ke warna
kuning.
Senin kembali
menyapa hari pada permulaan hari untuk sekolah. Aku duduk di samping Ani
kembali. Di dekat jendela, bangku ketiga dari depan. Bersiap memulai pelajaran
hari ini. Pelajaran pertama Matematika.
“Coba Ridho
kerjakan soal nomor satu di papan tulis,” pak guru memanggil.
Aku belum
mengenal semua yang ada di kelas ini. Masih lupa-lupa wajah dan nama mereka.
Bahkan terkadang tertukar. Termasuk Ridho, aku lupa orangnya yang mana. Setelah
mengambil buku pelajaran dari tas, meletakkannya di meja dan aku terdiam sesaat
melihat sosok Ridho. Jadi dirinya yang kemarin datang panahan. Aku memang belum pernah mengobrol
dengannya. Ia duduk di sisi lain dari tempatku duduk, di sebelah jendela namun
di sisi yang berbeda. Tanpa kusadari aku terus melihatnya yang saat ini
mengerjakan soal di depan. Bayangan saat ia memanah kembali muncul. Aku jadi
penasaran tentang dia. Berhubung setelah pulang sekolah aku akan ke rumah Ani,
akan kugali informasi darinya.
“Ani. Kamu
kenal sama anak yang bernama Ridho tadi ?” segera saja aku bertanya kepada Ani
saat sampai di rumahnya.
“Oh Ridho. Aku
kenal sama dia sejak SMP. Memang ada apa Chasanah ? Kamu naksir ya ? Ciee.”
Tanpa kusadari
wajahku memerah mendengar hal itu. Tidak bisa ditutupi dan terlihat jelas.
“Bukan begitu, kemarin dia latihan panahan di tempat ayahku,” aku sedikit
mengelak.
“Hmm. Masa ?
Kalau gitu aku ga usah cerita tentang Ridho lebih jauh deh berarti ya.”
“Eh jangan
gitu dong !” kata-kata itu keluar sendiri dari mulutku. Segera aku menutup mulutku
dengan tangan. Dan wajahku kembali memerah.
“Hahaha. Iya
deh aku cerita. Jadi selama aku temenan sama dia yang kulihat dia orangnya
cerdas kayak tadi di depan kelas kamu liat sendiri kan ? Bahkan dia ikut OSN
bidang MTK saat kelas satu. Tapi hanya sampai tingkat Provinsi,” Ani diam
sejenak. “Oia dia juga baik ke semua loh, mau cowok atau cewek. Aku juga sering
dibantu sama dia. Terkenal dikalangan siswa maupun guru. Dan kamu tahu siapa
yang sering baca tilawah pas pagi sebelum pelajaran ? Ridho lah orangnya,
Chasanah.”
Banyak
informasi tentangnya yang aku dapat dari Ani. Entah mengapa rasa ingin tahuku
terus meningkat. Dan ada sebuah rasa lain yang muncul dari perasaan ini ?
Inikah yang dinamakan cinta masa SMA ? Aku pun bercerita pada Ani saat aku
melihatnya memanah. Kehebatannya saat itu. Dan juga tidak lupa menuliskan isi
hatiku ini di buku biruku tercinta.
Hari terus
berlalu. Aku belum sekalipun berbincang dengan Ridho. Hanya melihatnya dari
kejauhan. Itu pun juga secara sembunyi-sembunyi melirik ke arahnya. Berharap
tidak ada yang tahu hal ini kecuali Ani. Aku malu untuk sekedar menatap matanya
secara langsung, apa lagi berbincang dengannya. Pulang sekolah hari ini, aku
dan Ani tidak langsung pulang.
“Mau kemana
Ani ?” Ani menarik tanganku.
“Ke tempat
seseorang. Ayuk ikut,” aku terpaksa ikut karena Ani menarik tanganku dengan
kuat.
Kami berjalan
entah kemana. Tapi seperti aku pernah melewati jalan yang Ani tunjukkan.
Bukankah ini jalan menuju rumahku ? Padahal aku belum pernah mengajak Ani ke
rumah.
“Yak, kita
sampai.”
“Dimana ini ?
Ini rumah siapa ?” sebuah rumah berwarna dengan dua lantai dan gerbang pintu
pagar seukuran mobil tepat dihadapanku.
“Ini rumahnya
Ridho.”
Aku menatap ke
Ani. Rumah Ridho ? Dekat sekali dengan rumahku. Hanya berjarak lima rumah dari
rumahku. “Ini rumah Ridho ?” dengan wajah tidak percaya aku menunjuk rumah itu
dan bertanya pada Ani. Ia hanya mengangguk dan tersenyum ke arahku. Aku tarik
tangannya dan sedikit menjauh dari rumah. Menceritakan kalau rumahku tidak jauh
dari sini. Dan dia meledekku “Cie jodoh rumahnya deketan”, walau sebenarnya aku
meng-amin-kannya dalam hati.
Setiap hari
aku rutin menulis tentang Ridho di buku biruku ini. Bercerita semua tentangnya.
Berandai-andai suatu saat nanti kami bisa berlatih panahan bersama. Mungkin
saja mengarungi kehidupan ini bersama suatu saat nanti. Semua tercatat di buku
ini. Tidak ada yang tahu mengenai perasaanku saat ini, kecuali Ani. Ayah dan
ibu juga tidak tahu. Sudah dua bulan aku satu kelas dengan Ridho, namun sampai
saat ini juga aku belum mengobrol dengannya sama sekali.
Kini aku tahu
kebiasaannya setiap Minggu pagi. Bersama kedua temannya, Yoga dan Ridwan selalu
pergi untuk sekedar lari pagi. Aku melihat mereka tanpa sengaja saat diriku
pergi membeli sayur untuk ibu yang kebetulan melewati rumah Ridho. Sejak saat
itu aku tidak menolak permintaan ibu membelikan sayur saat Minggu pagi, bahkan
aku melakukannya dengan senang hati hanya sekedar melihat wajahnya dari jauh di
pagi hari yang sejuk.
Lama-lama aku
bosan melihat dirinya hanya dari kejauhan. Apa aku mulai untuk mengobrol
dengannya ya ? Tapi tidak bisa, aku sangat malu. Melihatnya hari ini di kelas
saja aku sedikit cemburu ketika teman-teman perempuan di kelasku mendekat
padanya untuk sekedar berfoto. Berfoto dengan seseorang yang meraih juara satu
lomba matematika yang diadakan sekolah lain. Hanya aku yang tidak foto
dengannya. Ah, aku menyesal padahal itu kesempatan yang bagus. Untuk mengobati
penyesalan ini, kembali aku memilih untuk curhat ke bukuku. Kuraih tas dan
kuambil dari dalam.
Tapi ada
sesuatu yang aneh. Tanganku tidak merasakan sentuhan buku itu dalam tas. Segera
kubuka tas lebih lebar. Mengeluarkan isi tas. Buku pelajaran, buku tulis,
tempat pensil semua keluar dari tas. Tapi tidak ada buku biruku.
Oh tidak !
Kemana buku itu ? Apa mungkin tertinggal di sekolah ? Mungkin tersangkut dengan
buku yang aku tinggal di kolong meja. Oh tidak ! Bagaimana jika ada yang baca ?
Semua isinya akan ketahuan. Dan
rahasiaku akan terbongkar. Tapi sekarang Jum’at dan sudah malam, tidak mungkin
aku kembali ke sekolah. Terpaksa menunggu Senin. Semoga tidak ada yang membaca.
Minggu pagi
kembali datang. Kali ini aku keluar bisa lebih pagi dari biasanya. Walaupun
perasaanku masih was-was akan bukuku jika ada yang baca, mungkin akan sedikit
terobati dengan melihat wajahnya pagi ini. Aku berjalan sedikit lagi sampai di
depan rumahnya. Tapi ada pemandangan yang berbeda, ada dua orang berpakaian
hitam berboncengan naik motor dan berhenti di depan rumahnya. Kulihat Ridho
keluar dan membukakan pintu untuk mereka. Tiba-tiba salah seorang dari mereka
seperti mengambil sesuatu dari celananya.
PISTOL !!!
Orang itu
mengeluarkan pistol dan mengarahkannya ke kepala Ridho. Ridho diam dan menurut
dengan mereka. Mereka masuk ke dalam rumah. Apa mungkin mereka “PENCURI” ?
Terlihat Yoga dan Ridwan datang untuk menjemput Ridho. Aku menghentikan mereka
dan menjelaskan kalau di dalam sedang ada pencuri.
“APA !! Ada
pencuri ? Di rumah Ridho ? Gimana Ridhonya baik-baik aja kan ?” Yoga dengan
wajah kagetnya bertanya padaku.
“Entahlah.
Ridho tadi ditodong pistol di kepalanya. Semoga saja masih baik-baik saja.
Sekarang kita harus menolongnya. Kalian tunggu di sini, aku ke rumah dulu
mengambil peralatan panahku.”
Sesampainya di rumah aku ingin memberitahu
semua apa yang terjadi. Tapi ayah belum pulang dari semalam. Ibu entah dimana
tidak ada di dapur dan bagian lainnya. Adik ? Ia masih tertidur pulas di
kamarnya. Lagi pula ia masih terlalu kecil untuk masalah ini. Segera saja aku
mengambil busur dan sepuluh anak panah. Dan ada dua gulung lakban hitam besar
di meja segera saja kuambil. Semoga ini dapat membantu.
“Oke, sekarang
kita tolong Ridho. Menghubungi polisi membutuhkan waktu cukup lama, tapi Ridwan
tolong telpon polisi sekarang !” kami sekarang berdiskusi rencana penyelamatan
ini. Di dalam ada Ridho dan sekeluarga. Menjadi tawanan dua orang pencuri.
Ridho, tunggu kami. Saatnya beraksi.
Pertama, Yoga dan Ridwan berpura-pura
menjemput Ridho untuk lari pagi. Setidaknya salah satu pencuri itu akan keluar
dengan kemungkinan akan menahan mereka juga. Tapi dua lawan satu, kami masih
bisa unggul. Dan benar saja satu pencuri keluar dan pura-pura ramah kepada
mereka. Mengajak mereka masuk. Segera saja Ridwan dan Yoga menyerang pencuri
itu. Memukul wajahnya, membanting badannya dan berusaha mengunci kedua
lengannya.
Tapi pencuri
itu tidak tinggal diam, ia membalas memukul mereka berdua. Dan mengeluarkan
pisau yang ia sembunyikan. Kini mereka berdua harus menghadapi pisau di depan
mereka. Aku tidak mau diam saja. Aku memang masih di luar pintu pagar, tapi
kupersiapkan busur dan anak panah. Target terkunci, bahu kiri pencuri. Memang
aku selalu keluar dari target saat latihan, tapi kali ini bukan latihan aku
harus bisa. Bismillah.
Anak panah pun
terlepas. Mengarah menuju ke target. Apakah kena ?
Anak panah
tadi tidak menancap di bahu kiri pencuri itu. Hanya mengenai sedikit. Bajunya
robek dan ada darah di sana akibat anak panahku. Memang tidak parah, tapi itu
kesempatan untuk mereka berdua. Segera saja mereka melumpuhkan pencuri itu. Membuatnya
tersungkur di bawah. Tangan dan kakinya dikunci oleh mereka berdua. Yoga
mengambil pisau dari pencuri itu. Dan Ridwan mulai mengikatnya dengan lakban
yang kubawa tadi. Kaki dan tangannya diikat. Mulutnya tertutup dengan lakban.
Aku dan Yoga pelan-pelan berjalan mendekati
pintu. Sedangkan Ridwan menunggu di luar menemani pencuri yang berhasil kami
lumpuhkan tadi. Mendekati pintu, kami berdua mendengar suara ketukan jendela
dari jendela luar di sebelah pintu. Kami menuju ke sana dan ternyata di sana
ada Ridho. Syukurlah ia tidak apa-apa.
“Kami terkunci
di sini. Pencuri itu yang memegang kuncinya jadi kami tidak bisa keluar dari
sini. Seandainya ada kunci itu, aku bisa keluar dari sini,” Ridho terkunci
bersama ayah dan adik perempuannya di kamar.
“Kuncinya yang
ini bukan ?” Yoga menunjukkan kunci yang sepertinya ia dapatkan tadi ketika melawan
pencuri itu. Wajah Ridho gembira melihat kunci itu. Dan kini kunci itu ada
padanya. Aku dan Yoga kembali menuju ke depan pintu.
Oh, sial.
Tepat di depan pintu, kami berhadapan langsung dengan pencuri satu lagi. Jarak
aku dengannya hanya 10 meter dan dia memegang pistol di tangannya.
“DIAM ATAU KU
TEMBAK KALIAN,” Teriak pencuri itu.
Aku dan Yoga
tidak bisa berbuat apa-apa. Busur dan panahku kali ini hanya diam tidak
berdaya. Apa yang harus kami lakukan ? Perlahan pencuri itu datang menuju kami
berdua.
“Anak-anak
sialan. Berani-beraninya kalian melakukan ini ya. Udah ga sayang sama nyawa ya
?”
Pistol itu
tepat mengarah ke kepalaku sekarang ini. Apa yang harus aku lakukan ? Apa aku
akan mati di sini ? Aku tidak berani melihat dan menutup mataku karena takut.
“Ridho !”
terdengar suara Yoga. Sebelumnya seperti ada suara pukulan benda mengarah ke
seseorang. Aku membuka mata dan di depan ada Ridho dengan membawa piala yang
cukup besar. Dan pencuri itu tersungkur di lantai. Sepertinya Ridho memukulnya
dengan piala itu. Ia berlari ke arah kami, “Kalian tidak apa-apa kan ?”
Kini kami
bertiga berjarak 5 meter dari pencuri itu. Syukurlah tidak ada yang terluka.
Tapi pencuri
itu mengangkat kepalanya. Meraih pistolnya yang terjatuh tadi. Dan
mengarahkannya kepada kami. “RIDHO AWAS !”
“DDOOORRR”
Oh tidak
pencuri itu melepas tembakannya. Aku tidak menjadi korban tembakannya. Tapi
Ridho karena berada di depanku terkena tembakan itu tepat di bahu kanannya. Air
mataku mulai mengalir melihat semua itu. Dengan perasaan sedih bercampur marah,
aku ambil anak panahku dan meletakannya di busur panah. Target terkunci. KEPALA
PENCURI.
“MATI KAU !!!”
aku berteriak sesaat sebelum menembakan anak panah.
“Cha-sa-nah.”
Panah melesat
dengan sangat cepat. Sesaat tadi sebelum melepasnya, aku seperti mendengar
suara Ridho memanggil. Ridho masih hidup ?
Anak panah
tadi kembali ke luar target. Gagal mencapai kepala pencuri itu. Justru mengarah
ke tangan kanan pencuri itu yang memegang pistol. Membuat pistolnya terpental
dan rusak. Ayah Ridho menahan pencuri itu agar diam dan tidak bisa bergerak.
Bagaimana dengan Ridho ?
“RIDHO, RIDHO
BANGUN,” aku memangku kepalanya di pahaku. Darah mengalir dari bahu kanannya.
Bajunya memerah akibat darah. Air mataku menetes dan jatuh di wajah Ridho yang
matanya masih terpejam saat ini.
“Cha-sa-nah,”
Mulut Ridho mengeluarkan kata-kata itu dengan lirih. Dan itu namaku yang ia
ucapkan.
Suara sirine
mobil polisi datang dan sampai di depan rumah. Ada sekitar sepuluh polisi masuk
dengan membawa pistol. Menangkap pencuri yang masuk ke dalam rumah ini.
Bagaimana dengan Ridho ? Harus segera ke rumah sakit. SEKARANG.
“Pak Polisi.
Tolong, tolong teman saya pak. Dia tertembak. Tolong selamatkan nyawanya pak,”
aku memohon kepada bapak polisi yang menghampiriku.
Dengan sigap,
Ridho dibawa menuju mobil oleh polisi itu. Ayah Ridho meminta aku dan Yoga yang
menemani Ridho menuju rumah sakit. Segera kami ikut masuk ke mobil. Aku masih
khawatir dengan kondisinya saat ini. Air mataku terus saja mengalir. Ridho
bertahanlah.
“Kita akan ke
rumah sakit terdekat. Sekarang kita doakan teman kalian ini selamat ya,” pak
polisi yang tadi menolong bersiap mengendarai mobil. Sirine mobil dinyalakan.
Mobil melaju dengan cepat.
Kami tiba di
rumah sakit. Segera Ridho dibawa ke Unit Gawat Darurat. Namun, aku dan Yoga
tidak boleh masuk. Hanya pak polisi yang masuk. Terpaksa aku menunggu di luar
dan terus berdoa.
Pak polisi
keluar dari ruangan itu dengan wajah tertunduk. Ia menceritakan yang dialami
Ridho di dalam. Katanya Ridho hampir kehabisan darah karena luka tembak tadi.
Sedangkan di rumah sakit tidak ada stok darah lagi. Aku duduk terjatuh di
lantai mendengar hal itu. Menangis sejadi-jadinya, tidak adakah kesempatan lagi
?
“Seandainya
sekarang ini ada yang bergolongan darah B, kita masih bisa menyelamatkannya.
Tapi darahku A. Tidak bisa,” Ucap pak polisi masih dengan wajah tertunduk.
Golongan darah
B ? Itu golongan darahku juga. Masih ada kesempatan kali ini. Aku masih bisa
menolongnya. Aku memberi tahu pak polisi kalau golongan darahku juga B.
Wajahnya tidak tertunduk lagi dan segera membawaku ke dalam menuju dokter.
“Tapi anak ini
membutuhkan banyak darah. Apa tidak apa-apa untukmu ?” Dokter ber-jas putih itu
bicara padaku.
“Tidak apa
dok. Cepat lakukan saja.”
Aku akhirnya
mendonorkan darahku untuk Ridho. Nyawa Ridho dapat terselamatkan. Aku, pak
polisi dan Yoga gembira ketika mendapatkan kabar itu. Kini aku hanya berbaring
lemah karena darahku yang diambil cukup banyak. Berbaring di sebelah kasur
Ridho.
Ridho mulai
tersadarkan. Matanya mulai membuka perlahan. Aku tahu itu karena Yoga berada di
dekat Ridho sekarang ini. Walau kondisiku lemah, aku berusaha berjalan menuju
Ridho.
“Chasanah,”
Suara lirih dari Ridho yang menatap ke arahku.
“Ridho. Kamu
istirahat saja dulu ya. Jangan dipaksakan,” Kini wajahku tepat di depan
wajahnya. Berusaha menutupi kesedihanku yang sedari tadi menemani.
Ridho hanya
diam. Tangan kanannya menunjuk ke arah kantung celana bagian kanan. Sepertinya
mengisyaratkan aku untuk mengambil sesuatu dari sana. Aku ambil apa yang ada di
sana. Saat meraba-raba seperti aku tahu apa ini. Ku ambil dan ternyata ini
adalah buku biruku. Kenapa bisa ada di Ridho ? Apa dia membaca isinya ?
“Nanti kalau
aku sudah sembuh, kita latihan memanah bareng ya Chasanah,” Ia tersenyum dalam
sakitnya.
Aku hanya
mengangguk dan menyeka air mataku yang keluar dengan sendirinya. Setelah itu
keluargaku datang menjemputku setelah mendengar cerita dari Ridwan. Begitu pula
dengan ayah dan adik Ridho turut datang juga.
Seperti yang
dikatakan Ridho, kini kami selalu latihan panahan bersama. Setiap hari Minggu,
ia datang ke rumah. Ia yang mengajariku teknik memanah. Kini aku tidak meminta
ayah untuk mengajari, karena sudah ada yang menggantikan.
0 komentar:
Posting Komentar