Pages

Subscribe:

Minggu, 09 Juli 2017

Catatan Biru Chasanah



            "Bulan depan kita pindah rumah.”
Itulah yang dikatakan oleh ayahku. Setelah ujian akhir sekolah nanti, kami sekeluarga akan pindah rumah. Yang berarti aku juga harus berpindah sekolah untuk melanjutkan belajarku di sekolah menengah atas. Begitupun dengan adikku yang masih SD.
Ayahku bekerja sebagai pelatih olahraga panahan. Bersama dengan teman-temannya, mereka membuat klub panahan dan membuka pelatihan memanah bagi siapa yang ingin belajar. Dan alhamdulillah sekarang ayah dapat membeli sebuah rumah dan akhirnya kami bisa meninggalkan kehidupan di kontrakkan ini yang sudah menemani kehidupanku selama ini.
1 Juli 2016. Kami pindah ke daerah Sawangan, Depok. Setelah sebelumnya lama mengontrak rumah di daerah Cibubur, Jakarta Timur. Rumah baru kami tidak terlalu besar. Rumah satu lantai yang cukup untuk ayah, ibu, aku dan adik untuk tinggal di dalamnya. Ternyata ada alasan lain kenapa ayah memilih membeli rumah ini. Halaman yang luas di belakang rumah akan dijadikan sebagai tempat latihan memanah.  Selama ini aku belum diajari memanah oleh ayah. Kali ini akan aku paksa untuk mewarisi keahlian yang ia miliki padaku.

“Chasanah, kapan kamu mau nyari sekolah ?” ibu bertanya disela aku sedang membaca sebuah novel.
“Oia ! Chasanah hampir lupa, bu. Chasanah ikut ibu aja deh,”
“Kamu mau di SMA mana ?”
“Bebas, bu. Yang penting bisa sekolah,”
“Di sekolah ini aja, bu. SMA Negeri 5 Depok. Jaraknya ga terlalu jauh dari rumah kita,” ayah menyarankan sekolah kepada ibu.    
“Memang ada sekolah di dekat sini ? Ayah tahu dari mana ?”
“Itu dari tetangga di sini. Dua hari yang lalu ia datang untuk belajar memanah. Katanya ia sekarang masih sekolah di sekolah yang tadi ayah bilang,” ayah menjelaskan sambil membaca koran hari ini. Memang ayah baru sekitar dua minggu membuka jasa latihan memanah. Tapi aku tidak pernah melihat apalagi mengobrol dengan ya datang. Maka malam ini sudah diputuskan aku akan mendaftar ke sekolah itu. Esok senin, aku dan ibu pergi ke sana. Dan tidak lupa juga adikku yang akan mendaftar ke SD di dekat sini.
Akhirnya tahun pelajaran baru semester ganjil dimulai. Dan secara resmi kini diriku menjadi salah satu siswi di sekolah ini.
“Assalamu’alaikum, selamat pagi teman-teman. Perkenalkan nama saya Chasanah. Mulai hari ini saya akan belajar bersama teman-teman di kelas ini. Salam kenal,” sebuah salam perkenalan dariku. Disambut dengan tepuk tangan yang ramah di dalam kelas. Kelas XI MIA 2 tempat belajarku di sini.
“Baik Chasanah. Silakan kamu duduk di samping Ani,” Bu guru wali kelas mempersilakanku duduk. Teman sebangkuku kali ini bernama Ani. Dan semenjak saat ini kami menjadi sahabat.
Aku juga punya kebiasaan, menulis setiap momen kejadian setiap hari dalam buku harianku. Tidak lupa juga aku mencatat hari pertama sekolah dan awal mula persahabatanku dengan Ani. Semua tertulis dalam buku dengan sampul batik berwarna biru ini. Di tulis menggunakan tinta pulpen berwarna biru, sama seperti sampul buku.
Satu bulan telah berlalu. Hari ini hari sabtu, biasanya tempat latihan memanah kosong hari ini. Kesempatan untuk belajar memanah hari ini terbuka lebar. Sebelumnya ayah telah memberi pelatihan cara dasa untuk memanah. Jadi tidak ada salahnya bila aku mencoba walau ayah sedang tidak di rumah. Entah kemana ia pergi semenjak tadi pagi. Segera saja aku mengambil busur dan beberapa anak panah. Saatnya beraksi !
Lima anak panah aku tembakkan satu persatu. Menuju sasaran yang berjarak sekitar 10 meter di depan sana. Aku sangat menikmati ini, suasana sepi membuat dengan mudah berkonsentrasi untuk mencapai sasaran bagian tengah. Sudah empat anak panah ditembakkan. Dua diantaranya kena di bagian merah, satu di biru dan satu di luar target. Belum ada yang mengenai kuning, bagian tengah dari sasaran yang nilainya paling besar. Segera kutarik anak panah terakhir. Target terkunci, warna kuning.
“Apa yang kamu lakukan, Chasanah ?” ayah tiba-tiba datang.
Karena kaget, fokusku menghilang dan akhirnya anak panah terakhir di luar target.
“Iiihhhh, ayah mah bikin kaget aja. Padahal tadi bisa kena kuning harusnya,” aku melihat ayah yang kali ini menyiapkan alat-alat untuk memanah. Banyak sekali alatnya, mau ada apa ya ?
“Hahaha kamu masih harus banyak latihan nak,” ayah memegang kepalaku yang tertutupi jilbab biru dongker. “Oia, nanti ada yang mau latihan. Orangnya banyak hari ini. Jadi kamu udahan aja ya panahannya. Mending bantu ayah sini.”
Ternyata mau ada yang latihan hari ini. Padahal aku sedang asyik memanah. Tapi apa boleh buat, lebih baik aku bantu ayah menyiapkan semuanya.
Semua beres. Terdengar suara langkah kaki mengarah ke sini. Sepertinya sudah pada datang. Lebih baik aku ke dalam saja. Setelah pamit kepada ayah, aku pun masuk ke rumah. Sampai di depan pintu, mataku tertuju kepada seorang laki-laki yang sepertinya seumuran denganku. Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana ? Aku pun masuk ke rumah. Tapi pikiranku tidak tenang. Akibatnya aku sering keluar-masuk rumah hanya untuk melihat laki-laki tadi. Siapa laki-laki itu ya ? Kemampuan memanahnya luar biasa. Dari lima anak panah, semuanya kena ke warna kuning.
Senin kembali menyapa hari pada permulaan hari untuk sekolah. Aku duduk di samping Ani kembali. Di dekat jendela, bangku ketiga dari depan. Bersiap memulai pelajaran hari ini. Pelajaran pertama Matematika.
“Coba Ridho kerjakan soal nomor satu di papan tulis,” pak guru memanggil.
Aku belum mengenal semua yang ada di kelas ini. Masih lupa-lupa wajah dan nama mereka. Bahkan terkadang tertukar. Termasuk Ridho, aku lupa orangnya yang mana. Setelah mengambil buku pelajaran dari tas, meletakkannya di meja dan aku terdiam sesaat melihat sosok Ridho. Jadi dirinya yang kemarin datang panahan.             Aku memang belum pernah mengobrol dengannya. Ia duduk di sisi lain dari tempatku duduk, di sebelah jendela namun di sisi yang berbeda. Tanpa kusadari aku terus melihatnya yang saat ini mengerjakan soal di depan. Bayangan saat ia memanah kembali muncul. Aku jadi penasaran tentang dia. Berhubung setelah pulang sekolah aku akan ke rumah Ani, akan kugali informasi darinya.
“Ani. Kamu kenal sama anak yang bernama Ridho tadi ?” segera saja aku bertanya kepada Ani saat sampai di rumahnya.
“Oh Ridho. Aku kenal sama dia sejak SMP. Memang ada apa Chasanah ? Kamu naksir ya ? Ciee.”
Tanpa kusadari wajahku memerah mendengar hal itu. Tidak bisa ditutupi dan terlihat jelas. “Bukan begitu, kemarin dia latihan panahan di tempat ayahku,” aku sedikit mengelak.
“Hmm. Masa ? Kalau gitu aku ga usah cerita tentang Ridho lebih jauh deh berarti ya.”
“Eh jangan gitu dong !” kata-kata itu keluar sendiri dari mulutku. Segera aku menutup mulutku dengan tangan. Dan wajahku kembali memerah.
“Hahaha. Iya deh aku cerita. Jadi selama aku temenan sama dia yang kulihat dia orangnya cerdas kayak tadi di depan kelas kamu liat sendiri kan ? Bahkan dia ikut OSN bidang MTK saat kelas satu. Tapi hanya sampai tingkat Provinsi,” Ani diam sejenak. “Oia dia juga baik ke semua loh, mau cowok atau cewek. Aku juga sering dibantu sama dia. Terkenal dikalangan siswa maupun guru. Dan kamu tahu siapa yang sering baca tilawah pas pagi sebelum pelajaran ? Ridho lah orangnya, Chasanah.”
Banyak informasi tentangnya yang aku dapat dari Ani. Entah mengapa rasa ingin tahuku terus meningkat. Dan ada sebuah rasa lain yang muncul dari perasaan ini ? Inikah yang dinamakan cinta masa SMA ? Aku pun bercerita pada Ani saat aku melihatnya memanah. Kehebatannya saat itu. Dan juga tidak lupa menuliskan isi hatiku ini di buku biruku tercinta.
Hari terus berlalu. Aku belum sekalipun berbincang dengan Ridho. Hanya melihatnya dari kejauhan. Itu pun juga secara sembunyi-sembunyi melirik ke arahnya. Berharap tidak ada yang tahu hal ini kecuali Ani. Aku malu untuk sekedar menatap matanya secara langsung, apa lagi berbincang dengannya. Pulang sekolah hari ini, aku dan Ani tidak langsung pulang.
“Mau kemana Ani ?” Ani menarik tanganku.
“Ke tempat seseorang. Ayuk ikut,” aku terpaksa ikut karena Ani menarik tanganku dengan kuat.
Kami berjalan entah kemana. Tapi seperti aku pernah melewati jalan yang Ani tunjukkan. Bukankah ini jalan menuju rumahku ? Padahal aku belum pernah mengajak Ani ke rumah.
“Yak, kita sampai.”
“Dimana ini ? Ini rumah siapa ?” sebuah rumah berwarna dengan dua lantai dan gerbang pintu pagar seukuran mobil tepat dihadapanku.
“Ini rumahnya Ridho.”
Aku menatap ke Ani. Rumah Ridho ? Dekat sekali dengan rumahku. Hanya berjarak lima rumah dari rumahku. “Ini rumah Ridho ?” dengan wajah tidak percaya aku menunjuk rumah itu dan bertanya pada Ani. Ia hanya mengangguk dan tersenyum ke arahku. Aku tarik tangannya dan sedikit menjauh dari rumah. Menceritakan kalau rumahku tidak jauh dari sini. Dan dia meledekku “Cie jodoh rumahnya deketan”, walau sebenarnya aku meng-amin-kannya dalam hati.
Setiap hari aku rutin menulis tentang Ridho di buku biruku ini. Bercerita semua tentangnya. Berandai-andai suatu saat nanti kami bisa berlatih panahan bersama. Mungkin saja mengarungi kehidupan ini bersama suatu saat nanti. Semua tercatat di buku ini. Tidak ada yang tahu mengenai perasaanku saat ini, kecuali Ani. Ayah dan ibu juga tidak tahu. Sudah dua bulan aku satu kelas dengan Ridho, namun sampai saat ini juga aku belum mengobrol dengannya sama sekali.
Kini aku tahu kebiasaannya setiap Minggu pagi. Bersama kedua temannya, Yoga dan Ridwan selalu pergi untuk sekedar lari pagi. Aku melihat mereka tanpa sengaja saat diriku pergi membeli sayur untuk ibu yang kebetulan melewati rumah Ridho. Sejak saat itu aku tidak menolak permintaan ibu membelikan sayur saat Minggu pagi, bahkan aku melakukannya dengan senang hati hanya sekedar melihat wajahnya dari jauh di pagi hari yang sejuk.
Lama-lama aku bosan melihat dirinya hanya dari kejauhan. Apa aku mulai untuk mengobrol dengannya ya ? Tapi tidak bisa, aku sangat malu. Melihatnya hari ini di kelas saja aku sedikit cemburu ketika teman-teman perempuan di kelasku mendekat padanya untuk sekedar berfoto. Berfoto dengan seseorang yang meraih juara satu lomba matematika yang diadakan sekolah lain. Hanya aku yang tidak foto dengannya. Ah, aku menyesal padahal itu kesempatan yang bagus. Untuk mengobati penyesalan ini, kembali aku memilih untuk curhat ke bukuku. Kuraih tas dan kuambil dari dalam.
Tapi ada sesuatu yang aneh. Tanganku tidak merasakan sentuhan buku itu dalam tas. Segera kubuka tas lebih lebar. Mengeluarkan isi tas. Buku pelajaran, buku tulis, tempat pensil semua keluar dari tas. Tapi tidak ada buku biruku.
Oh tidak ! Kemana buku itu ? Apa mungkin tertinggal di sekolah ? Mungkin tersangkut dengan buku yang aku tinggal di kolong meja. Oh tidak ! Bagaimana jika ada yang baca ?  Semua isinya akan ketahuan. Dan rahasiaku akan terbongkar. Tapi sekarang Jum’at dan sudah malam, tidak mungkin aku kembali ke sekolah. Terpaksa menunggu Senin. Semoga tidak ada yang membaca.
Minggu pagi kembali datang. Kali ini aku keluar bisa lebih pagi dari biasanya. Walaupun perasaanku masih was-was akan bukuku jika ada yang baca, mungkin akan sedikit terobati dengan melihat wajahnya pagi ini. Aku berjalan sedikit lagi sampai di depan rumahnya. Tapi ada pemandangan yang berbeda, ada dua orang berpakaian hitam berboncengan naik motor dan berhenti di depan rumahnya. Kulihat Ridho keluar dan membukakan pintu untuk mereka. Tiba-tiba salah seorang dari mereka seperti mengambil sesuatu dari celananya.
PISTOL !!!
Orang itu mengeluarkan pistol dan mengarahkannya ke kepala Ridho. Ridho diam dan menurut dengan mereka. Mereka masuk ke dalam rumah. Apa mungkin mereka “PENCURI” ? Terlihat Yoga dan Ridwan datang untuk menjemput Ridho. Aku menghentikan mereka dan menjelaskan kalau di dalam sedang ada pencuri.
“APA !! Ada pencuri ? Di rumah Ridho ? Gimana Ridhonya baik-baik aja kan ?” Yoga dengan wajah kagetnya bertanya padaku.
“Entahlah. Ridho tadi ditodong pistol di kepalanya. Semoga saja masih baik-baik saja. Sekarang kita harus menolongnya. Kalian tunggu di sini, aku ke rumah dulu mengambil peralatan panahku.”
    Sesampainya di rumah aku ingin memberitahu semua apa yang terjadi. Tapi ayah belum pulang dari semalam. Ibu entah dimana tidak ada di dapur dan bagian lainnya. Adik ? Ia masih tertidur pulas di kamarnya. Lagi pula ia masih terlalu kecil untuk masalah ini. Segera saja aku mengambil busur dan sepuluh anak panah. Dan ada dua gulung lakban hitam besar di meja segera saja kuambil. Semoga ini dapat membantu.
“Oke, sekarang kita tolong Ridho. Menghubungi polisi membutuhkan waktu cukup lama, tapi Ridwan tolong telpon polisi sekarang !” kami sekarang berdiskusi rencana penyelamatan ini. Di dalam ada Ridho dan sekeluarga. Menjadi tawanan dua orang pencuri. Ridho, tunggu kami. Saatnya beraksi.
  Pertama, Yoga dan Ridwan berpura-pura menjemput Ridho untuk lari pagi. Setidaknya salah satu pencuri itu akan keluar dengan kemungkinan akan menahan mereka juga. Tapi dua lawan satu, kami masih bisa unggul. Dan benar saja satu pencuri keluar dan pura-pura ramah kepada mereka. Mengajak mereka masuk. Segera saja Ridwan dan Yoga menyerang pencuri itu. Memukul wajahnya, membanting badannya dan berusaha mengunci kedua lengannya.
Tapi pencuri itu tidak tinggal diam, ia membalas memukul mereka berdua. Dan mengeluarkan pisau yang ia sembunyikan. Kini mereka berdua harus menghadapi pisau di depan mereka. Aku tidak mau diam saja. Aku memang masih di luar pintu pagar, tapi kupersiapkan busur dan anak panah. Target terkunci, bahu kiri pencuri. Memang aku selalu keluar dari target saat latihan, tapi kali ini bukan latihan aku harus bisa. Bismillah.
Anak panah pun terlepas. Mengarah menuju ke target. Apakah kena ?
Anak panah tadi tidak menancap di bahu kiri pencuri itu. Hanya mengenai sedikit. Bajunya robek dan ada darah di sana akibat anak panahku. Memang tidak parah, tapi itu kesempatan untuk mereka berdua. Segera saja mereka melumpuhkan pencuri itu. Membuatnya tersungkur di bawah. Tangan dan kakinya dikunci oleh mereka berdua. Yoga mengambil pisau dari pencuri itu. Dan Ridwan mulai mengikatnya dengan lakban yang kubawa tadi. Kaki dan tangannya diikat. Mulutnya tertutup dengan lakban.
 Aku dan Yoga pelan-pelan berjalan mendekati pintu. Sedangkan Ridwan menunggu di luar menemani pencuri yang berhasil kami lumpuhkan tadi. Mendekati pintu, kami berdua mendengar suara ketukan jendela dari jendela luar di sebelah pintu. Kami menuju ke sana dan ternyata di sana ada Ridho. Syukurlah ia tidak apa-apa.
“Kami terkunci di sini. Pencuri itu yang memegang kuncinya jadi kami tidak bisa keluar dari sini. Seandainya ada kunci itu, aku bisa keluar dari sini,” Ridho terkunci bersama ayah dan adik perempuannya di kamar.
“Kuncinya yang ini bukan ?” Yoga menunjukkan kunci yang sepertinya ia dapatkan tadi ketika melawan pencuri itu. Wajah Ridho gembira melihat kunci itu. Dan kini kunci itu ada padanya. Aku dan Yoga kembali menuju ke depan pintu.
Oh, sial. Tepat di depan pintu, kami berhadapan langsung dengan pencuri satu lagi. Jarak aku dengannya hanya 10 meter dan dia memegang pistol di tangannya.
“DIAM ATAU KU TEMBAK KALIAN,” Teriak pencuri itu.
Aku dan Yoga tidak bisa berbuat apa-apa. Busur dan panahku kali ini hanya diam tidak berdaya. Apa yang harus kami lakukan ? Perlahan pencuri itu datang menuju kami berdua.
“Anak-anak sialan. Berani-beraninya kalian melakukan ini ya. Udah ga sayang sama nyawa ya ?”
Pistol itu tepat mengarah ke kepalaku sekarang ini. Apa yang harus aku lakukan ? Apa aku akan mati di sini ? Aku tidak berani melihat dan menutup mataku karena takut.
“Ridho !” terdengar suara Yoga. Sebelumnya seperti ada suara pukulan benda mengarah ke seseorang. Aku membuka mata dan di depan ada Ridho dengan membawa piala yang cukup besar. Dan pencuri itu tersungkur di lantai. Sepertinya Ridho memukulnya dengan piala itu. Ia berlari ke arah kami, “Kalian tidak apa-apa kan ?”
Kini kami bertiga berjarak 5 meter dari pencuri itu. Syukurlah tidak ada yang terluka.
Tapi pencuri itu mengangkat kepalanya. Meraih pistolnya yang terjatuh tadi. Dan mengarahkannya kepada kami. “RIDHO AWAS !”
“DDOOORRR”
Oh tidak pencuri itu melepas tembakannya. Aku tidak menjadi korban tembakannya. Tapi Ridho karena berada di depanku terkena tembakan itu tepat di bahu kanannya. Air mataku mulai mengalir melihat semua itu. Dengan perasaan sedih bercampur marah, aku ambil anak panahku dan meletakannya di busur panah. Target terkunci. KEPALA PENCURI.
“MATI KAU !!!” aku berteriak sesaat sebelum menembakan anak panah.
“Cha-sa-nah.”
Panah melesat dengan sangat cepat. Sesaat tadi sebelum melepasnya, aku seperti mendengar suara Ridho memanggil. Ridho masih hidup ?
Anak panah tadi kembali ke luar target. Gagal mencapai kepala pencuri itu. Justru mengarah ke tangan kanan pencuri itu yang memegang pistol. Membuat pistolnya terpental dan rusak. Ayah Ridho menahan pencuri itu agar diam dan tidak bisa bergerak. Bagaimana dengan Ridho ?
“RIDHO, RIDHO BANGUN,” aku memangku kepalanya di pahaku. Darah mengalir dari bahu kanannya. Bajunya memerah akibat darah. Air mataku menetes dan jatuh di wajah Ridho yang matanya masih terpejam saat ini.
“Cha-sa-nah,” Mulut Ridho mengeluarkan kata-kata itu dengan lirih. Dan itu namaku yang ia ucapkan.
Suara sirine mobil polisi datang dan sampai di depan rumah. Ada sekitar sepuluh polisi masuk dengan membawa pistol. Menangkap pencuri yang masuk ke dalam rumah ini. Bagaimana dengan Ridho ? Harus segera ke rumah sakit. SEKARANG.
“Pak Polisi. Tolong, tolong teman saya pak. Dia tertembak. Tolong selamatkan nyawanya pak,” aku memohon kepada bapak polisi yang menghampiriku.
Dengan sigap, Ridho dibawa menuju mobil oleh polisi itu. Ayah Ridho meminta aku dan Yoga yang menemani Ridho menuju rumah sakit. Segera kami ikut masuk ke mobil. Aku masih khawatir dengan kondisinya saat ini. Air mataku terus saja mengalir. Ridho bertahanlah.
“Kita akan ke rumah sakit terdekat. Sekarang kita doakan teman kalian ini selamat ya,” pak polisi yang tadi menolong bersiap mengendarai mobil. Sirine mobil dinyalakan. Mobil melaju dengan cepat.
Kami tiba di rumah sakit. Segera Ridho dibawa ke Unit Gawat Darurat. Namun, aku dan Yoga tidak boleh masuk. Hanya pak polisi yang masuk. Terpaksa aku menunggu di luar dan terus berdoa.
Pak polisi keluar dari ruangan itu dengan wajah tertunduk. Ia menceritakan yang dialami Ridho di dalam. Katanya Ridho hampir kehabisan darah karena luka tembak tadi. Sedangkan di rumah sakit tidak ada stok darah lagi. Aku duduk terjatuh di lantai mendengar hal itu. Menangis sejadi-jadinya, tidak adakah kesempatan lagi ?
“Seandainya sekarang ini ada yang bergolongan darah B, kita masih bisa menyelamatkannya. Tapi darahku A. Tidak bisa,” Ucap pak polisi masih dengan wajah tertunduk.
Golongan darah B ? Itu golongan darahku juga. Masih ada kesempatan kali ini. Aku masih bisa menolongnya. Aku memberi tahu pak polisi kalau golongan darahku juga B. Wajahnya tidak tertunduk lagi dan segera membawaku ke dalam menuju dokter.
“Tapi anak ini membutuhkan banyak darah. Apa tidak apa-apa untukmu ?” Dokter ber-jas putih itu bicara padaku.
“Tidak apa dok. Cepat lakukan saja.”
Aku akhirnya mendonorkan darahku untuk Ridho. Nyawa Ridho dapat terselamatkan. Aku, pak polisi dan Yoga gembira ketika mendapatkan kabar itu. Kini aku hanya berbaring lemah karena darahku yang diambil cukup banyak. Berbaring di sebelah kasur Ridho.
Ridho mulai tersadarkan. Matanya mulai membuka perlahan. Aku tahu itu karena Yoga berada di dekat Ridho sekarang ini. Walau kondisiku lemah, aku berusaha berjalan menuju Ridho.
“Chasanah,” Suara lirih dari Ridho yang menatap ke arahku.
“Ridho. Kamu istirahat saja dulu ya. Jangan dipaksakan,” Kini wajahku tepat di depan wajahnya. Berusaha menutupi kesedihanku yang sedari tadi menemani.
Ridho hanya diam. Tangan kanannya menunjuk ke arah kantung celana bagian kanan. Sepertinya mengisyaratkan aku untuk mengambil sesuatu dari sana. Aku ambil apa yang ada di sana. Saat meraba-raba seperti aku tahu apa ini. Ku ambil dan ternyata ini adalah buku biruku. Kenapa bisa ada di Ridho ? Apa dia membaca isinya ?
“Nanti kalau aku sudah sembuh, kita latihan memanah bareng ya Chasanah,” Ia tersenyum dalam sakitnya.
Aku hanya mengangguk dan menyeka air mataku yang keluar dengan sendirinya. Setelah itu keluargaku datang menjemputku setelah mendengar cerita dari Ridwan. Begitu pula dengan ayah dan adik Ridho turut datang juga.
Seperti yang dikatakan Ridho, kini kami selalu latihan panahan bersama. Setiap hari Minggu, ia datang ke rumah. Ia yang mengajariku teknik memanah. Kini aku tidak meminta ayah untuk mengajari, karena sudah ada yang menggantikan.
  

0 komentar:

Posting Komentar